BID'AH
PERBUATAN
DAN
BID'AH KEPERCAYAAN
Disusun
O
L
E
H
Heriansyah Harahap
(45.12.3.007)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SU
FAKULTAS USHULUDDIN
TAFSIR HADITS INTERNASIONAL
MEDAN
2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ..................................................................................................... i
BAB I : PENDAHULUAN .............................................................................................. ii
BAB II : PEMBAHSAN .............................................................................................. 1
A.
Pengertian
Bid’ah .................................................................................... ......... 1
B.
Macam-macam
Bid’ah ............................................................................................ 2
1.
Bid’ah
Amaliyah .............................................................................................. 3
2.
Bid’ah
I’tiqadiyah .................................................................................... 4
C.
Contoh
Bid’ah Amaliyah dan I’tiqadiyah.................................................................... 4
1.
Contoh
Bid’ah amaliyah....................................................................................... 4
2.
Contoh
Bid’ah I’tiqadiyah.................................................................................... 5
BAB III : PENUTUP .............................................................................................. 6
REFERENCE .....................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang
bersifat komperhensif, karena hal-hal yang mencakup kehidupan dan hukum telah
diatur dan termuat dalam Al-quran maupun As-sunnah. Islam dalam sejarah
kemunculannya sebagai suatu ajaran yang memberikan konsep, Petunjuk, dan
pedoman kepada manusia, dan juga beserta norma dan tata caranya. Dengan
demikian Islam berfungsi untuk menjaga dan memelihara integritas kehidupan
manusia agar tidak kacau. Islam berfungsi sebagai alat pengatur untuk
mewujudkan keutuhan hubungan baik secara vertikal dengan Rabbnya, maupun
hubungan horizontal antarsesama manusia dan juga dengan alam sekitarnya.
Sebagai ajaran tauhid,
Islam mengajak manusia untuk meng-esa-kan dzat , sifat, dan af’al Allah yang
sering disebut keimanan. Mengimani Allah SWT, bagi manusia sudah menjadi kodrat
yang telah ada seumur manusia itu sendiri.
Namun pada umumnya manusia lupa atau mengingkari asal kejadiannya sebagai
hamba Allah dan Khalifah-Nya. Mereka menerima ajaran tersebut dalam berbagai
tingkat kemampuan, presepsi, dan interpretasi masing-masing, sehingga timbul
aliran dan pandangan, bahkan pertentangan yang bermuara pada terbentuknya
golongan-golongan dan paham yang berbeda. Manusia cenderung mengolah pedoman
dan bimbingan itu bukan dengan menggunakan petunjuk pelaksanaan yang telah
disediakan Allah dan di perinci-pertegas oleh rasul Allah, namun menafsirkan
pedoman tersebut semata-mata berdasarkan kontekstual dan rasio akal dan hawa
nafsu semata, yang pada akhirnya membawa manusia itu dalam kesesatan dan pada
akhirnya akan melunturkan kemurnian akidah dan ketauhidan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bid’ah
Secara bahasa, di dalam
kamus Lisan al-’Arab menyebutkan bahwa kata al-bid’ah merupakan isim (kata
benda) dari الإبتداع (menciptakan sesuatu).[1]
Dalam kitab Mu’jam
al Muqayis Fi al-Lughah, Abu al-Husain juga menyebutkan, ابتداء الشيئ
وضعه لا عن مثال (sesuatu yang pertama adanya dan
dibuat tanpa ada contoh).[2]
Sedangkan al-Imam Muhammad Abu Bakr ‘Abd al-Qadir al-Razi berkata, bahwa bid’ah
secara bahasa berarti, اخترعه لا على مثال سابق
(mengadakan sesuatu dengan tanpa ada contoh terlebih dahulu).
Adapun al-Imam Abu ‘Abd al-Rahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H)
berkata, bahwa bid’ah secara bahasa, احداث شيئ لم
يكن له من قبل خلق ولا ذكر ولا معرفة (mengadakan sesuatu perkara yang
sebelumnya tidak pernah dibuat, tidak disebut-sebut dan tidak pernah dikenal).[3]
Melalui semua definisi
di atas, maka dapat difahami bahwa apa yang disebut dengan al-bid’ah di
dalam kamus bahasa Arab ditinjau dari segi bahasa adalah suatu perkara baru
yang diadakan atau diciptakan dengan tidak adanya contoh sebelumnya.
Dengan demikian yang
dinamakan bid’ah ialah suatu hal baru yang tidak terdapat pada konteks ajaran
Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, atau dengan kata lain perbuatan maupun
perkataan yang dianggap suatu cara agama, padahal itu hanya bersumber dari
rasio dan akal manusia itu sendiri dan sama sekali tidak pernah diterangkan
oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Baik berkaitan dengan akidah maupun
syariah yang aturan-aturannya sudah dijelaskan dalam Al-quran dan As-sunnah
secara tafshil (rinci). Adapun yang berkaitan dengan urusan muamalah atau
sosial seperti masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia,
seperti ekonomi, politik, negara, kedokteran, penemuan modern dan lain-lain tidak
bisa masuk dalam kategori bid’ah (dalam arti bid’ah dalalah).[4]
Bid’ah juga terdapat
dalam ajaran-ajaran Islam yang lain, misalnya dengan membuat tradisi dan
peraturan-peraturan yang dikehendaki manusia untuk selanjutnya dinisbatkan
sebagai ajaran agama. Dengan dasar ini bid’ah tidak hanya mencakup ibadah namun
juga keduniaan.[5]
Inti dari masalah yang
berkaitan dengan bid’ah yakni kita harus bisa memisahkan antara urusan yang
berkenaan dengan ibadah dan akidah dengan hal-hal yang menyangkut urusan keduniaan,
jika dalam urusan ibadah sebagaimana yang telah digariskan oleh nash agama
tidak ada sedikitpun tempat untuk dibanding-bandingkan atau dicampur adukan
dengan kebiasaan, perkataan, atau tradisi model baru yang tidak ada ketentuan
atau diatur dalam syara’, berbeda dengan urusan kemasyarakatan atau keduniaan,
agama tidak akan membatasi ruang geraknya baik bentuk maupun teknisnya, semua
diserahkan kepada umat itu sendiri, mana yang dianggap layak dan baik untuknya.
Allah menyerukan
manusia agar mengikuti syari’at Islam dan melarang manusia memilih jalan sesat,
yang telah menyimpang dari jalan Allah, Allah berfirman :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang kami
perintahkan), ini jalanku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan itu menceraberaikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa”[6]
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[7]
Sebenarnya masih banyak
lagi ayat-ayat maupun hadis yang menyerukan untuk menjauhi perbuatan bid’ah dan
hukuman yang akan diganjarkan bagi yang melanggarnya.
B. Macam-Macam Bid’ah
Di atas telah
dijelaksan bahwa bid’ah merupakan amalan yang menyerupai ibadah, dan dilakukkan
dengan berlebih-lebihan dan menamba-nambah dengan cara yang batil.
Pengaruh bid’ah itu
bertingkat. Karena itu bid’ah dapat dibagi dalam beberapa tingkatan. Secara umum
baik oleh golongan pertama (ahli ushul), maupun oleh golongan kedua (ahli
fiqh), sepakat menggolongkan bid’ah menjadi beberapa kategori, yakni : Fi’liyah,
Tarkiyah, I’tiqadiyah, Zamaniyah, Makaniyah, Haliyah, Haqiqiyah, Idhafiyah,
Kulliyah, Juz-iyah, Ibadiyah, Adiyah.
1. Bid’ah Amaliyah
Bid’ah amaliyah adalah
bid’ah-bid’ah yang dikerjakan oleh 5 panca indera, namun tidak pernah dikerjakan
atau dicontohkan oleh Nabi.
Ada beberapa prinsif
yang berkaitan dengan ibadah, sehingga kita dapat membedakan antara ibadah yang
benar atau bid’ah amaliyah, yaitu :
a. Tidak melakukan amal ibadah kecuali ada dalil Al-Qur’an maupun Al-Sunnah,
الأصل في العبادة البطلان حتى يقوم
الدليل على تحليله
Pada prinsifnya ibadah itu adalah batal (tidak diakui)
kecuali ada dalilyang mengatakan hal itu sebagai ibadah.
Maksudnya,
ibadah itu tidak sah, bahkan haram dilakukan kecuali ada dalil yang mengatakan
sesuatu itu sebagai ibadah. Oleh sebab itu, kaum muslimin tidak boleh
melaksanakan ibadah kecuali ada dalil yang terkaitnya dengan dalil Al-Qur’an
maupun Al-Sunnah.
b. Jangan melakukan suatu amal ibadah kecuali setelah memiliki ilmu tentang
amalan tersebut. Di dalam Shahih Bukhari dijelaskan satu bab khusus,
yaitu Al-‘Ilmu Qobla Al-Qaul Wal Amal, yaitu mendahulukan ilmu sebelum berbicara
atau beramal.
c. Beramal harus ittiba’ (mengikuti atau mencontoh) Nabi Muhammad saw.
Maksudnya seseorang tidak boleh membuat-buat materi dan cara-cara ibadah
sendiri dengan akal dan hawa nafsunya. Ibadah haruslah mencontoh dan mengikuti
petunjuk Rasulullah saw. dalam kaitan ini, Nabi bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو
Siapa yang mengada-adakan sesuatu di dalamnya urusan agama kami yang
bukan yang bukan dari ajaran agama
tersebut, maka ia akan tertolak.[8]
Jadi, suatu ibadah baru
diterima apabila memiliki unsur-unsur yang di atas, yaitu harus ada dalil dari
Al-Qur’an dan Al-Sunnah, berilmu dan menconto Nabi saw.[9]
2. Bid’ah I’tiqadiyah
Yakni bid’ah yang
berkaitan dengan kepercayaan (I’tiqad) yang berlawanan dengan yang diteriman
dari Rasulullah SAW.
C. Contoh Bid’ah Amaliyah dan I’tiqadiyah
Indonesia merupakan
Negara majemuk, keberagaman yang ada bukan hanya pada lingkup Suku, Bahasa,
kebudayaan, namun juga dari aspek Agama. Dengan keberagaman Agama yang ada umat
Islam dituntut untuk bisa berbaur, berinteraksi, dan bekerjasama dengan Agama lain
dari sisi kehidupan bermasyarakat. dan tentu akan saling mempengaruhi, temasuk
dari sisi kebiasaan, peraturan, maupun dari aspek agama. Maka tidak mustahil
akan terjadi pembauran praktik-praktik keagamaan yang cukup membahayakan (talfiq)
dan menganggu kerukunan umat beragama.
Salah satu pengaruh
bagi umat Islam di Indonesia yakni munculnya praktik-praktik ritual Islam, yang
sebenarnya bukan bersumber dari Islam, yang pada akhirnya akan menjauhkan diri
dari akidah Islamiyah, dan muncullah praktik-praktik pemusyirikan, pemujaan,
perdukunan, dan lain-lain yang kian hari makin menjamur.
Adapun pada makalah
ini, akan diberikan beberapa penjelasan dan contoh terkait perilaku,
kebudayaan, dan kebiasaan yang bisa dikategorikan termasuk perbuatan bid’ah di
Indonesia, yaitu :
1. Contoh Bid’ah Amaliyah (Perbuatan)
Sebagaimana keterangan di atas, bahwa setiap ibadah yang kita kerjakan
harus bersumber dari Al-Qur’an dan Rasulullah saw. Salah satu bid’ah amaliyah
yang terdapat di Indonesia adalah Shalat Qabliyah Jum’at. Jadi, seandainya ada shalat qabliyah jum’at,
maka dilakukan antara azan dan shalat jum’at. Tapi kenyataannya Nabi saw. tepat
sesudah masuk waktu shalat jum’at, maka beliau langsung naik ke mimbar, lalu
mengucap salam, lalu azan dikumandangkan, dilanjutkan langsung khutbah dan
shalat jum’at. Jadi Nabi saw, sahabat dan Imam Syafi’i tidak pernah
melakukan shalat qabliyah jum’at, karena tidak ada celah (kesempatan) untuk
melakukannya.[10]
2. Contoh Bid’ah I’tiqadiyah
Segala amalan dan kepercayaan yang tidak berdasarkan kepada sumber-sumber
yang asal seperti al-Qur’an, al-Hadis, Ijma’ dan Qiyas adalah ditolak oleh
Islam. Sabda Rasululah:
Barangsiapa
mengada-adakan di dalam agama kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka
yang dikerjakannya itu adalah tertolak.
Percaya kepada
benda-benda yang dijadikan keramat seperti pokok, kubur, telaga dan sebagainya,
serta memuja, memohon pertolongan dan melepaskan nazar pada benda-benda
berkenaan dan percaya ianya mempunyai kuasa selain dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala, adalah membawa kepada syirik dan bertentangan dengan kepercayaan tauhid
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan janganlah menyembah atau memuja yang lain dari Allah, yang tidak dapat
mendatangkan manfaat kepadamu dan juga tidak dapat memberi mudharat kepadamu. Sekiranya
engkau mengerjakan yang demikian maka jadilah engkau orang-orang yang berlaku
zalim (terhadap diri sendiri dengan perbuatan syirik itu)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bid’ah ialah suatu hal
baru yang tidak terdapat pada konteks ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah
SAW, atau dengan kata lain perbuatan maupun perkataan yang dianggap suatu cara
agama, padahal itu hanya bersumber dari rasio dan akal manusia itu sendiri dan
sama sekali tidak pernah diterangkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Sebagaimana keterangan
di atas, suatu ibadah baru diterima apabila memiliki unsur-unsur yang di atas,
yaitu harus ada dalil dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, berilmu dan menconto Nabi
saw.
Percaya kepada
benda-benda yang dijadikan keramat seperti pokok, kubur, telaga dan sebagainya,
serta memuja, memohon pertolongan dan melepaskan nazar pada benda-benda
berkenaan dan percaya ianya mempunyai kuasa selain dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala, adalah membawa kepada syirik dan bertentangan dengan kepercayaan tauhid
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
[1] Muhammad bin Mukarram bin ‘Ali Abu al-Fadl Jamal al
Din bin Mandzur, Lisan al-‘Arab bab bad’u, Juz 8, h. 6, CD. al-Maktabah
al-Syamilah.
[2] Abu al Husain bin Ahmad bin Faris, Mu’jam
al-Muqayis Fi al-Lughah, (Beirut : Dar al Fikr, 1415/1994), Hal.119
[3] Abu ‘Abd al-Rahman al-Khalil bin Ahmad
al-Farahidi, al-‘Ain, (Iran: Mu’assasah Dar al-Hijrah, Jilid II, 1404), Hal.45
[5] Asy Syaikh Mohammad
Al-Ghazaly, Bukan dari Ajaran Islam (Taqlid, Bid’ah, & Khufarat), (Bandung
: diterjemahkan oleh H. Mu’ammal Hamidy, cet.IV, 1994), Hal..89
[6]
QS : Al-An’am:153
[7]
QS Ali Imran: 31
[8] HR :
Muttafaqun ‘Alaihi
[9] Arifin. S.
Siregar, Kenapa Terjadi Perbedaan Pendapat ? ( Bandung :Citapustaka
Media Perintis, Cet. I, 2010), Hal.22-23
[10] Arifin. S.
Siregar, Kenapa Terjadi Perbedaan Pendapat ? ( Bandung :Citapustaka
Media Perintis, Cet. I, 2010), Hal.27-28
REFERENCE
Mandzur, Muhammad bin Mukarram bin ‘Ali Abu
al-Fadl Jamal al Din bin. Lisan al-‘Arab bab
bad’u : Juz 8, h. 6, CD. al-Maktabah al-Syamilah.
Faris, Abu al Husain bin Ahmad bin. Mu’jam al-Muqayis Fi
al-Lughah : Beirut : Dar al Fikr, 1994
al-Farahidi, Abu ‘Abd al-Rahman al-Khalil
bin Ahmad. Al-‘Ain : Iran: Mu’assasah Dar al-Hijrah, Jilid
II, 1404
Hsubky, Badruddin. Bid’ah-bid’ah di Indonesia : Jakarta, 1996
Al-Ghazaly, Asy Syaikh Mohammad. Bukan dari Ajaran Islam (Taqlid,
Bid’ah, & Khufarat), : Bandung,1994
Al-Qur’an Terjemah : Depok, 2009
Siregar, Arifin. S. Kenapa Terjadi Perbedaan Pendapat ? :
Bandung, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar