laba-laba

Selasa, 02 September 2014

TAHAMMUL HADIS


BAB III
ISI
TAHAMMULHADIS

A.      Pengertian tahammul al-hadits menurut bahasa dan istilah:
            Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahmmala
 (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa  adalah menerima           hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama           ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:

التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru.[1]
B.       Macam-macam tahammul hadits.
1.      Sama’ min lafazh al-Syaikh.
                 “Sama’ min lafazh al-Syaikh” yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya baik secara dikte atau bukan, baik dari hafalannya maupun dibaca dari tulisannya, walaupun mendengar dari balik hijab, asal berkeyakinan bahwa suara yang didengar adalah suara gurunya, kemudian ia sampaikan kepada orang lain.[2]
                 Cara sama’ ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayah. Lafazh-lafazh yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar sama’ adalah:
v حدثنا : حدثني  (Seseorang telah bercerita kepadaku/kami)
v سمعنا : سمعت  (Saya telah mendengar, kami telah mendengar)
2.      Al-Qira’ah ‘ala Syaikh
    yakni murid membaca hadits dihadapan gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan atau yang mendengar yang meriwayatkannya.[3]
          Lafazh-lafazh yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar Al-Qira’ah ‘ala Syaikh adalah:
v  قرآت عليه  (Saya telah membacakan dihadapannya )
v  قرئ عحفلان وأنا أسمع  (Dibacakan oleh seseorang dihadapannya[(guru)] sedang saya mendengarkan )
3.      Ijazah,
    yaitu pemberian izin dari seseorang kepada orang lain untuk meriwayatkan hadits darinya atau dari kitab-kitabnya.[4]
a.       Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin: izin untuk meriwayatkan untuk sesuatu yang tertentu kepada oaring tertentu:
b.       
جزت لك رواية الكتاب الفلاني

“Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan si fulan dari saya”.
c.       Ijazah fi ghairi mu’ayyanin, yaitu izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang tertentu
جزت لك جمبع مسموعاتي
“Saya ijzahkan kepada seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan”.
d.       Ijazah fi ghairi mu’ayyanin li ghairi mu’ayyanin, izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu kepada orang yang tidak tertentu:
أجزت للمسلمين جميع مسموعاتي
Saya ijazahkan kepada seluruh kaum muslimin apa yang saya dengar semuanya”.
4.      Munaawalah.
     yaitu seorang guru memberikan sebuah naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[5]
a)      Tidak diberi ijazah:
هذا سماعي أومن روايتي عن فلان فاروه
“Ini adalah hasil pendengaranku atau hasil dari periwayatanku”
b)       Tidak diberi ijazah:
هذا سماعي أومنروايتي
“Ini adalah hasil pendengaranku atau hasil dari periwayatanku”
5.      Mukatabah,
     yaitu seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau ada yang dihadapannya:
a.       Dibarengi ijazah
اجزت لك ما كتبته إليك
“Saya izinkan apa-apa yang telah saya tulis kepadamu”
b.      Tidak dibarengi ijazah:
قال حدثنا فلان
“Telah memberikan seseorang kepadaku”
6.      .    Wijadah,
     yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkan dengan sama’, qira’ah maupun selainnya, dari pemilik hadits maupun tulisan tersebut.[6]
Lafazh-lafazh yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar Wijadah, adalah :
قرأت بخط فلان
Saya telah membaca khat/tulisan seseorang”
وجدت بخط فلان , حدثنا فلان
Saya dapati khot/tulisan seseorang, bercerita pada kami”
7.       Washiyah,
    yaitu pesan seseorang dikala akan meninggal atau bepergian dengan sebuah kitab tulisannya supaya diriwayatkan.[7]
Lafazh-lafazh yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar Washiyah,  adalah :
اوصى الي فلان بكتاب قا ل فيه حدثنا الى أخره             

  Seseorang telah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab itu; telah bercerita padaku si fulan”
8.      .    I’lam
    yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari seorang guru dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid meriwayatkannya.[8]
Lafazh-lafazh yang digunakan oleh rawi dalam menyampaikan hadits atas dasar I’lam, adalah :
اعلمني فلان قا ل حدثنا
“Seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya, telah berkata padaku”.













DAFTAR PUSTAKA


·         Mahmud Thohan, 1985,terjemah Tafsir Mushtholah Hadits, Songgopuro, haramain,

·         Ibnu sholah, TT, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-Sholah,Tsaqofiyah,

·         H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999. Cet. I

·         http//ulumul hadits//com

·         AJuri,Syeikh Atiyah, Mustholahul Hadis. Jeddah : Haramain,

·         Balig, Izzudin, Minhaj as-Sholihin min al-Hadis Wali Songo as-Sunh Khatim al-Anbiyaa’ Wali Songo Mursalin.Beirut : Daar Pikr,

·         Kasir, Al-Imam Ibnu, al-Baits al-Hadis Syarh Ikhtisar Ulum al-Hadis. Beirut : daar al-Pikr,

·         Khatib, M. Ajjaj, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul asli : Ushul al-Hadis , diterjemahkan oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998.

·         Mas’udi, Hafiz Hasan, Minhatu al-Mughits pil Mustholahul Hadis. Surabaya: Ahmad Nabni,

·         Rahman, Fathur, Ikhisar Musthalahul Hadis. Bandung : Al-Ma’arif, 1991.

·         Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis. Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 1997.

















[1] ] Dr. Mahmud Thohan, Taisir Mushtholah Hadits, Songgopuro, haramain, 1985 hlm. 156.
[2] Endang Soetari, Loc. Cit. 178
[3] Mahmud Thohan, Op. Cit, hlm. 159
[4] Mahmud Thohan, Op. Cit, hlm. 160
[5] Dr. Muhammad Ijajil Khotib, Ushul al-Hadis.Beirut, Daar Fikr, Hlm. 238
[6] Mahmud Thohan, Loc. Cit, hlm. 165
[7] Shidiq Basir Nasri,Dhowabitu ar-Riwayah, hlm.146
[8] Endang Soetari, Op. Cit. 181
[9] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 1997), h. 236.
[10] Ibid
[11]  Al-Imam Ibnu Kasir, al-Baits al-Hadis Syarh Ikhtiar “Ulum al-Hadis” (Beirut : daar al-Pikr, tt), h. 42.
[12] Hafiz Hasan Mas’udi, Minhatu al-Mughits pil Mustholahul Hadis (Surabaya: Ahmad Nabni, tt) h. 10.


[13] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 1997), h. 240.
[14] Fathur Rahman, Ikhisar Musthalahul Hadis (Bandung : Al-Ma’arif, 1991), h. 181.
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] M. Ajaj Khatib, Ushulul Hadis, hal. 305-306.
[18] Syikh Atiyah al-AJuri, Mustholahul Hadis (Jeddah : Haramain, tt), h. 58.

[19] Hafiz Hasan al-Ma’udi, hal. 22.

[20] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT Mutiara Sumber Widya, 1997), h. 256-277
[21] .Ajjaj al-Khatib, Ushulul Hadis, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Judul asli : Ushul al-Hadis diterjemahkan oleh: M.Qadirun Nur, Ahmad Musyafiq (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), hal. 315-316.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar