laba-laba

Senin, 01 September 2014

gharib hadits



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertinan Gharib Hadits
Di dalam memahami makna matan suatu hadits, kadang-kadang kita menjumpai susunan kalimat yang sukar untuk difahamkan dengan baik. Kesukaran dalam memahami kata-kata atau susunan kalimat tersebut, bukan disebabkan karena tidak teraturyna susunan kalimat tersebut dan juga ketidak fasihan bahasanya, tetapi justru yang demikian itu merupakan keindahan seni sastranya, yang tidak sembarangan orang memahaminya. Selain orang yang mempunyai keahlian dalam bidang itu. Agar susunan kata-kata tersebut mudah difahamkan kandungannya, dan agar seseorang terhindar dari kesalahan dalam menafsirkannya, maka beberapa ulama menyusun suatu ilmu tersendiri, sebagai cabang dari dari  ilmu hadits, yaitu ilmu yang disebut dengan gharib Hadits.[1]
Ilmu gharib hadits adalah :

علم يعرف به معنى ما وقع فى متون الأحاديث
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan jarang terpakaioleh umum.”[2]

            Menurut Ibnu Shalah, gharib hadits adalah :

علم يعرف به ما وقع فى متون الأحاديث من الألفاظ الغامضة البعيدة عن الفهم لقلة استعماله
“Ilmu pengetahuan untuk mengetahui lafadh-lafadh dalam matan haditsyang sulit lagi suskar difahamkan, karena jarang sekali digunakan.”[3]  

Dengan memperhatikan ta’rif tersebut,  jelas bahwa yang menjadi obyek ilmu Gharibil-Hadits ialah kata-kata yang musykil dan susunan kalimat yang sukar dipahamkan maksudnya. Dan nyata pulalah kiranya tujuan yang hendak dicapai oleh ilmu ini, ialah melarang seseorang menafsirkan secara menduga-duga dan mentaqlidi pendapat seseorang yang bukan ahlinya.
Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang tentang arti suatu lafadh gharib yang terdapat dalam sebuah matan Hadits, tetapi karena beliau merasa tidak mampu, lalu menjawab :

إسألوا أصحاب الغريب فإني اكره عن اتكلم فى قول رسول الله صلى الله عليه وسلم بالظن

 Tanyakannlah kepada seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidang Gharibil-Hadits, karena aku tak suka memperkatakan sabda Rasulullah SAW dengan purbasangka”.[4]
Begitu pula Al-Ashmu’iy, ketika ditanya oleh seseorang tentang arti Hadits yang berbunyi :

الجار أحق بسبقه
Tetangga itu berhak untuk didekati".
Beliau mengatakan : “Saya enggan menafsirkan sabda Rasulullah ini tetapi orang-orang Arab menyangka, bahwa lafadh “Sabqi” itu artinya al-Laqiz ( janbun=dekat).[5]


B.     Cara-Cara Menafsirkan Ke-Ghariban Al-Hadits.
Para muhadditsin mengemukakan hal-hal yang dapat digunakan untuk menafsirkan keghariban matan hadits, di antaranya :
1.      Mencari dan menelaah hadits yang sanad-nya berlainan dengan yang ber-matan gharib.
2.      Memperhatikan penjelasan dari  sahabat yang meriwatkan hadits atau sahabat yang lain yang tidak meriwayatkan.
3.      Memperhatikan penjelasan dari rawi selain sahabat.[6]

Contoh matan hadits gharib yang ditafsirkan dengan hadits yang berasanad lain, seperti sebuah hadits Muttafaqun ‘alaih yang diriwayatkan oleh ibnu Umar r.a. tentang ibnu syayyad :
قال النبي صلى الله عليه وسلم إني خبأت لك خبيئا, فماذا ؟ قال إبن صياد : هو الدخ ! قال النبي صلى الله عليه وسلم : إخسأ ! فلن تعدو قدرك
“Nabi Muhammad saw. Berkata : saya menyimpan sesuatu untukmu, apa itu ? sahut ibnu Shayyad: yaitu asap. Salah ! kata Nabi saw., kamu tidak akan lepas secepat pperkiraanmu.”[7]
            Lafadh addukhkhu dalam hadits tersebut adalah lafadh yang gharib. Menurut uraian yang dikemjkakan oleh Al-Jauhari, lafadh addukhkhu tersebut berarti asap (menurut pengertian bahasa), tetapi menurut pendapat yang lain berate tumbuh-tumbuhan. Bahkan ada sebagian yang mengatikan dengan jima’.
            Untuk mendapatkan penafsiran yang tepat, kita berusaha mendapatkan sanad selain sanad Bukhary-Muslim. Ternyatakita dapati pentakhrijan hadits Abu Dawud dan At-turmidzy yang bersanadkan Az-Zuhri, salim dan Ibnu ‘Umar r.a. memberikan penafsiran terhadap kegharibannya. Kata Ibnu ‘Umar :
النبي إن صلى الله عليه وسلم خبأله ( يوم تأتى السماء بدخان مبين) فأدرك ابن صياد البعض عادةالكهان فى اختطاف بعض الشيئ من الشياطين من غير وقوف على تمام البيان, فقال : هو الدخ
 Sautu ketika nabi Muhammad saw. menyembunyikan untuk Ibnu Shayyad,  ayat :( tunggulah sampai langit mengumpulkan asap-asap yang nyata ), lalu Ibnu Shayyad mendapatkan sesuatu alat yang biasa dipakai tukang-tukang tenung untuk mencapai sesuatu perantaraan setan-setan, dan tanpa berfikir panjang lagi dia menjawab: itulah asap…”[8]
            Dengan bantuan dari hadits Abu Dawud dan At-Turmidzy tersebut, maka lafadh addukhkhu itu dapat diketahui artinya, yitu asap.


C.     Perintis Ilmu Gharib al-Hadits dan Kitab-kitabnya
Menurut sejarah , orang yang mula-mula berusaha untuk mengumpulkan lafadh yang gharib adalah Abu Ubaidah Ma’mar ibn Al-mutsanna (w.210 H ), kemudian dikembangkan oleh Abdul Hasan Al-Mazini (w.204 H).[9]
Tiga kitab gharib al-hadits pada abad III H adalah susunan Abu-‘Ubaid Al-Qasimi ibn Sallam (w. 224 H), ibn Qutaidah Ad-Dainuri  (w. 276 H), dan Al-Khatththabi (w. 378 H). kitab laiinnya sesudah itu adalah Gharib Al-qurun dan Al-Hadits susunan Al-Harawi (w. 401 H), dan Al-Faiq susunan Al-Zamaksyari. Kitab terbesar adalah An-Nihayah susunan Ibn Al-Atsir (606 H) yang diikhtisarkan oleh As-Suyuti (w. 911 H) dalam kitab Ad-Dur An-Natsir.[10]
Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa promoter ilmu gharib hadits adalah Abu-Hasan An-Nadlr bin Syamil Al-Mazini, seorang ulama ilmu nahwu, yang meninggal pada tahun 240 H. Ia adalah seorang guru dari Imam Ishaq bin Rawaih.[11]



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ilmu gharib hadits adalah Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan jarang terpakaioleh umum.
Adapun Cara-Cara Menafsirkan Ke-Ghariban Al-Hadits,  di antaranya :
4.      Mencari dan menelaah hadits yang sanad-nya berlainan dengan yang ber-matan gharib.
5.      Memperhatikan penjelasan dari  sahabat yang meriwatkan hadits atau sahabat yang lain yang tidak meriwayatkan.
6.      Memperhatikan penjelasan dari rawi selain sahabat.
Adapun Perintis Ilmu Gharib al-Hadits Menurut sejarah adalah Abu Ubaidah Ma’mar ibn Al-mutsanna (w.210 H ), kemudian dikembangkan oleh Abdul Hasan Al-Mazini (w.204 H). Menurut sebagian ulama berpendapat bahwa promoter ilmu gharib hadits adalah Abu-Hasan An-Nadlr bin Syamil Al-Mazini, seorang ulama ilmu nahwu, yang meninggal pada tahun 240 H. Ia adalah seorang guru dari Imam Ishaq bin Rawaih.

B.     Kritik dan saran
Demikianlah isi makalah ini, tentu masih masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini, maka perlu kritik dan saran yang dari saudara/I yang  bersifat membangun.







[1] Fatchur Rahman, IKhtisar Mushthalahaul Hadits, Yogyakarta, 1970, h.321
[2] M.Agus Solahuddin, Ulumul hadits,cet ke-2, Bandung, Pustaka Setia, 2011, h. 117
[3] Fatchur Rahman, IKhtisar Mushthalahaul Hadits, Yogyakarta, 1970, h.321
[4] Fatchur Rahman, IKhtisar Mushthalahaul Hadits, Yogyakarta, 1970, h.322
[5] Ibid
[6] M.Agus Solahuddin, Ulumul hadits,cet ke-2, Bandung, Pustaka Setia, 2011, h. 118
[7] Fatchur Rahman, IKhtisar Mushthalahaul Hadits, Yogyakarta, 1970, h.323
[8] Ibid
[9] M.Agus Solahuddin, Ulumul hadits,cet ke-2, Bandung, Pustaka Setia, 2011, h. 117
[10] Ibid
[11] Fatchur Rahman, IKhtisar Mushthalahaul Hadits, Yogyakarta, 1970, h.325

Tidak ada komentar:

Posting Komentar