BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertinan
Gharib Hadits
Di dalam memahami makna matan suatu hadits, kadang-kadang kita
menjumpai susunan kalimat yang sukar untuk difahamkan dengan baik. Kesukaran
dalam memahami kata-kata atau susunan kalimat tersebut, bukan disebabkan karena
tidak teraturyna susunan kalimat tersebut dan juga ketidak fasihan bahasanya,
tetapi justru yang demikian itu merupakan keindahan seni sastranya, yang tidak
sembarangan orang memahaminya. Selain orang yang mempunyai keahlian dalam
bidang itu. Agar susunan kata-kata tersebut mudah difahamkan kandungannya, dan
agar seseorang terhindar dari kesalahan dalam menafsirkannya, maka beberapa
ulama menyusun suatu ilmu tersendiri, sebagai cabang dari dari ilmu hadits, yaitu ilmu yang disebut dengan gharib
Hadits.[1]
Ilmu gharib hadits adalah :
علم
يعرف به معنى ما وقع فى متون الأحاديث
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang
terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan jarang
terpakaioleh umum.”[2]
Menurut Ibnu Shalah, gharib hadits
adalah :
علم
يعرف به ما وقع فى متون الأحاديث من الألفاظ الغامضة البعيدة عن الفهم لقلة
استعماله
“Ilmu pengetahuan untuk mengetahui
lafadh-lafadh dalam matan haditsyang sulit lagi suskar difahamkan, karena
jarang sekali digunakan.”[3]
Dengan memperhatikan ta’rif tersebut, jelas bahwa yang menjadi obyek ilmu
Gharibil-Hadits ialah kata-kata yang musykil dan susunan kalimat yang sukar
dipahamkan maksudnya. Dan nyata pulalah kiranya tujuan yang hendak dicapai oleh
ilmu ini, ialah melarang seseorang menafsirkan secara menduga-duga dan
mentaqlidi pendapat seseorang yang bukan ahlinya.
Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang tentang arti suatu
lafadh gharib yang terdapat dalam sebuah matan Hadits, tetapi karena beliau merasa
tidak mampu, lalu menjawab :
إسألوا أصحاب الغريب
فإني اكره عن اتكلم فى قول رسول الله صلى الله عليه وسلم بالظن
“Tanyakannlah kepada seseorang yang
mempunyai keahlian dalam bidang Gharibil-Hadits, karena aku tak suka
memperkatakan sabda Rasulullah SAW dengan purbasangka”.[4]
Begitu pula Al-Ashmu’iy, ketika ditanya oleh seseorang tentang
arti Hadits yang berbunyi :
الجار أحق بسبقه
“Tetangga itu berhak
untuk didekati".
Beliau mengatakan : “Saya enggan menafsirkan sabda Rasulullah
ini tetapi orang-orang Arab menyangka, bahwa lafadh “Sabqi” itu artinya
al-Laqiz ( janbun=dekat).[5]
B.
Cara-Cara Menafsirkan Ke-Ghariban Al-Hadits.
Para muhadditsin
mengemukakan hal-hal yang dapat digunakan untuk menafsirkan keghariban matan
hadits, di antaranya :
1.
Mencari
dan menelaah hadits yang sanad-nya berlainan dengan yang ber-matan gharib.
2.
Memperhatikan
penjelasan dari sahabat yang meriwatkan
hadits atau sahabat yang lain yang tidak meriwayatkan.
3.
Memperhatikan
penjelasan dari rawi selain sahabat.[6]
Contoh matan hadits gharib yang
ditafsirkan dengan hadits yang berasanad lain, seperti sebuah hadits Muttafaqun
‘alaih yang diriwayatkan oleh ibnu Umar r.a. tentang ibnu syayyad :
قال النبي صلى الله
عليه وسلم إني خبأت لك خبيئا, فماذا ؟ قال إبن صياد : هو الدخ ! قال النبي صلى
الله عليه وسلم : إخسأ ! فلن تعدو قدرك
“Nabi Muhammad saw. Berkata : saya menyimpan
sesuatu untukmu, apa itu ? sahut ibnu Shayyad: yaitu asap. Salah ! kata Nabi
saw., kamu tidak akan lepas secepat pperkiraanmu.”[7]
Lafadh addukhkhu
dalam hadits tersebut adalah lafadh yang gharib. Menurut uraian yang
dikemjkakan oleh Al-Jauhari, lafadh addukhkhu tersebut berarti asap
(menurut pengertian bahasa), tetapi menurut pendapat yang lain berate tumbuh-tumbuhan.
Bahkan ada sebagian yang mengatikan dengan jima’.
Untuk mendapatkan
penafsiran yang tepat, kita berusaha mendapatkan sanad selain sanad
Bukhary-Muslim. Ternyatakita dapati pentakhrijan hadits Abu Dawud dan
At-turmidzy yang bersanadkan Az-Zuhri, salim dan Ibnu ‘Umar r.a. memberikan
penafsiran terhadap kegharibannya. Kata Ibnu ‘Umar :
النبي إن
صلى الله عليه وسلم خبأله ( يوم تأتى السماء بدخان مبين) فأدرك ابن صياد البعض
عادةالكهان فى اختطاف بعض الشيئ من الشياطين من غير وقوف على تمام البيان, فقال :
هو الدخ
“Sautu ketika nabi Muhammad saw. menyembunyikan untuk Ibnu
Shayyad, ayat :( tunggulah sampai langit
mengumpulkan asap-asap yang nyata ), lalu Ibnu Shayyad mendapatkan sesuatu alat
yang biasa dipakai tukang-tukang tenung untuk mencapai sesuatu perantaraan
setan-setan, dan tanpa berfikir panjang lagi dia menjawab: itulah asap…”[8]
Dengan bantuan
dari hadits Abu Dawud dan At-Turmidzy tersebut, maka lafadh addukhkhu itu
dapat diketahui artinya, yitu asap.
C.
Perintis Ilmu Gharib al-Hadits dan
Kitab-kitabnya
Menurut sejarah ,
orang yang mula-mula berusaha untuk mengumpulkan lafadh yang gharib adalah Abu
Ubaidah Ma’mar ibn Al-mutsanna (w.210 H ), kemudian dikembangkan oleh Abdul
Hasan Al-Mazini (w.204 H).[9]
Tiga kitab gharib
al-hadits pada abad III H adalah susunan Abu-‘Ubaid Al-Qasimi ibn Sallam (w.
224 H), ibn Qutaidah Ad-Dainuri (w. 276
H), dan Al-Khatththabi (w. 378 H). kitab laiinnya sesudah itu adalah Gharib
Al-qurun dan Al-Hadits susunan Al-Harawi (w. 401 H), dan Al-Faiq susunan
Al-Zamaksyari. Kitab terbesar adalah An-Nihayah susunan Ibn Al-Atsir (606 H)
yang diikhtisarkan oleh As-Suyuti (w. 911 H) dalam kitab Ad-Dur An-Natsir.[10]
Menurut sebagian ulama
berpendapat bahwa promoter ilmu gharib hadits adalah Abu-Hasan An-Nadlr bin
Syamil Al-Mazini, seorang ulama ilmu nahwu, yang meninggal pada tahun 240 H. Ia
adalah seorang guru dari Imam Ishaq bin Rawaih.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ilmu
gharib hadits adalah Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam
matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan jarang terpakaioleh umum.
Adapun Cara-Cara
Menafsirkan Ke-Ghariban Al-Hadits, di antaranya :
4.
Mencari
dan menelaah hadits yang sanad-nya berlainan dengan yang ber-matan
gharib.
5.
Memperhatikan
penjelasan dari sahabat yang meriwatkan
hadits atau sahabat yang lain yang tidak meriwayatkan.
6.
Memperhatikan
penjelasan dari rawi selain sahabat.
Adapun Perintis Ilmu
Gharib al-Hadits Menurut sejarah adalah Abu Ubaidah Ma’mar ibn Al-mutsanna
(w.210 H ), kemudian dikembangkan oleh Abdul Hasan Al-Mazini (w.204 H). Menurut
sebagian ulama berpendapat bahwa promoter ilmu gharib hadits adalah Abu-Hasan
An-Nadlr bin Syamil Al-Mazini, seorang ulama ilmu nahwu, yang meninggal pada
tahun 240 H. Ia adalah seorang guru dari Imam Ishaq bin Rawaih.
B.
Kritik
dan saran
Demikianlah isi makalah ini, tentu masih masih banyak kekurangan
dalam pembuatan makalah ini, maka perlu kritik dan saran yang dari saudara/I
yang bersifat membangun.
[1]
Fatchur Rahman, IKhtisar Mushthalahaul Hadits, Yogyakarta, 1970, h.321
[2]
M.Agus Solahuddin, Ulumul hadits,cet ke-2, Bandung, Pustaka Setia, 2011,
h. 117
[3]
Fatchur Rahman, IKhtisar Mushthalahaul Hadits, Yogyakarta, 1970, h.321
[6]
M.Agus Solahuddin, Ulumul hadits,cet ke-2, Bandung, Pustaka Setia, 2011,
h. 118
Tidak ada komentar:
Posting Komentar